Friday, September 30, 2011

GAYA BERJALAN, KELAINAN POSTUR DAN MASALAH GANGGUAN IMOBILISASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        LATAR BELAKANG
               Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial diantaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada diantara rentang mobilisasi—imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).
               Dalam makalah ini akan dibahas tentang gaya berjalan, dan kelainan postur tubuh sebagaimana hal ini dipengaruhi oleh kedua faktor yang telah disebutkan diatas yaitu mobilisasi dan imobilisasi


1.2    RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian gaya berjalan
2.      Bagaimana bentuk-bentuk kelainan postur tubuh
3.      Apa pengertian imobilisasi dan masalah-masalah yang menyertainya

1.3    TUJUAN
               Diharapkan mahasiswa mengetahui tentang macam-macam kelainan postur tubuh serta masalah yang berhubungan dengan imobilisasi sehingga mahasiswa dapat mengerti bagaimana akan melakukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan benar.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1    GAYA BERJALAN
               Istilah gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika berjalan  (Fish & Nielsen, 1993). Siklus gaya berjalan dimulai dari tumit mengangkat satu tungkai dan berlanjut dengan tumit mengangkat tungkai yang sama. Interval ini sama dengan 100% siklus gaya berjalan dan berlangsung 1 detik untuik kenyamanan berjalan (Lehmann et al, 1992).
               Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk membuat kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan. Mekanika gaya berjalan manusia mengikuti kesesuaian sistem skeletal, saraf, dan otot dari tubuh manusia (Fish & Nielsen, 1993).


2.2    KELAINAN POSTUR TUBUH
Ketidak normalan
Deskripsi
Penyebab
Penatalaksanaan
Tortikolis
Mencondongkan kepala kesisi yang sakit, dimana otot sterno kleidomastoideus berkontraksi
Kondisi kongenital atau didapat
Operasi, pemanasan, topangan atau imobilisasi, berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan
Lordosis
Kurva anterior pada spinalis lumbal yang melengkung berlebihan
Kondisi kongenital. Kondisi temporer (mis. Kehamilan)
Latihan peregangan spinal (berdasarkan penyebab)
Kifosis
Peningkatan kelengkungan pada kurva spinal torakal
Kondisi kongenital.
Penyakit tulang/ Ricket  Tuberkulosis spinal
Latihan peregangan spinal, tidur tanpa bantal, menggunakan papan tempat tidur, memakai brace/jacket, penggabungan spinal (berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan)
Kifolordosis
Kombinasi dari dan lordosis
Kondisi kongenital
Sama dengan metode yang disunakan untuk kifosis dan lordosis (berdasarkan penyebab)
Skoliosis
 Karvatura spinal lateral, tinggi pinggul dan bahu tidak sama
Kondisi kongenital
Poliomielitis
Paralisis spatik
Panjang kaki tidak sama
Immobilisasi dan operasi (berdasarkan  penyebab dan tingkat keparahan)
Kifoskoliosis
Tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan lateral
Kondisi kongenital
Poliomielitis
Kor Pulmonal
Immobilisasi dan operasi (berdasarkan  penyebab dan tingkat keparahan)
Displasia pinggul kongenital
Ketidakstabilan pinggul dengan keterbatasan abduksi pinggul, dan kadang-kadang kontraktur adduksi (kaput femur tidak tersambung dengan assebulum karena abnormal kedangkalan asetabulum)
Kondisi kongenital (biasanya dengan kelahiran sungsang)
Mempertahankan abduksi paha yang terus menerus sehingga kaput femur menekan ke bagian tengah asetabulum
Bebat abduksi, gips, pembedahan
Knock-knee
(genu-valgum)
Kurva kaki yang masuk ke dalam sehingga lutut rapat jika seseorang berjalan
Kondisi kongenital
Penyakit tulang/
Ricket
Knee brances, operasi jika tidak dapat diperbaiki oleh pertumbuhan
Bowlegs
(Genu varum)
Satu atau dua kaki bengkok keluar pada lutut, kondisi ini normal sampai usia 2-3 tahun
Kondisi kongenital
Penyakit tulang/ Ricket
Memperlambat kurva jika tidak dapat diperbaiki oleh pertumbuhan
Dengan penyakit tulang meningkatkan vitamin D, kalsium, dan fosfor
Clubfoot
95%: deviasi medial dan plantar-fleksi kaki (equinovarus)
5%: deviasi lateral dan dorsifleksi (calcaneovalgus)
Kondisi kongenital
Gips, pembidaian seperti Denis-Browne splint, dan operasi (tergantrung tingkat deformitas)
Footdrop
Plantarfleksi, ketidakmampuan menekuk kaki karena kerusakan saraf patoreal
Kondisi kongenital
Trauma
Posisi Immobilisasi
Tidak ada (tidak dapat dikoreksi)
Dicegah melalui terapi fisik
Pigeon-toes
Rotasi dalam kaki depan, biasa pada bayi
Kondisi kongenital
Kebiasaan
Pertumbuhan, menggunakan sepatu terbalik

2.3    IMMOBILISASI
               Gangguan mobilisasi fisik (immobilisasi) disefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995).perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik daqpat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembatasan gerakan volunter, atau kehilangan fungsi motorik.

2.4    MASALAH DAN ETIOLOGI GANGGUAN IMMOBILISASI
Masalah yang berhubungan dengan immobilisasi dapat berpengaruh terhadap sistem tubuh diantaranya:
A.     PENGARUH FISIOLOGIS
Pengaruh fisiologis meliputi:
1.      Perubahan Metabolik
Etiologi. Immobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien immobilisasi mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan luka meningkatkan kebutuhan oksigen selular (McCance dan Huether, 1994).
Intervensi. Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pancatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi perubahan transport nutrien, mengkaji asupan makanan dan pola eliminasi klien untuk menentukan fungsi gastrointestinal.
2.      Perubahan Sistem Respiratori
Etiologi. Klien pasca operasi dan immobilisasi beresiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolaps alveolus distal karena udara yang diabsorpsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien (Long et al, 1993).
Intervensi. Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi mengalami keterbatasan aktivitas. Perawat menginspeksi pergerakan dinding dada selama siklus inspirasi-ekspirasi penuh. Jika klien mempunyai area atelektasis, gerakan dadanya menjadi asimetris. Selaia  itu, perawat mengauskultasi seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi gangguan suara napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi paru cenderung menumpukdi area bagian bawah. Pengkajian sistem respiratori lengkap mengidentifasi adanya sekresi dan menentukan tindakan keperawatan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi respiratori.

3.      Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yaitu:
·        Hipotensi ortostatik
Adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran listrik vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yangterlihat pada penurunan tekanan darah (McCance and Huether, 1994).

·        Beban kerja jantung
Jika beban kerja jantung meningkat maka konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras dan kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika imobilisasi meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung yang lebih lanjutdan peningkatan beban kerja.
·        Trombus
Adalah akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh darah. Ada tiga faktor yang menyebabkan pembentukan trombus:
-         Hilangnya integritas dinding pembuluh darah (mis. Artherosklerosis)
-         Kelainan aliran darah (mis. Aliran darah vena yang lambat akibat tirah baring dan imobilisasi)
-         Perubahan unsur-unsur darah (mis. Perubahan dalam faktor pembekuan darah atau peningkatan aktivitas trombosit) (McCance and Huether, 1994)
Intervensi. Pengakajian keperawatan kardiovaskuler pada klien imobilisasi termasuk memantau tekanan darah, mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, mengobservasi tanda-tanda adanya statis vena (mis. Edema dan penyembuhan luka yang buruk). Tekanan darah klien harus diukur, terutama jika berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat resiko terjadi hipotensi ortostatik. Dengan cara ini, kemampuan klien meninggalkan pengaman tempat tidur.
      Perawat juga mengkaji nadi apeks dan perifer. Pada beberapa klien terutama lansia, jantung tidak dapat mentoleransi beban kerja, dan berkembang menjadi gagal jantung. Memantau nadi perifer memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa darah. Tidak adanya nadi perifer di ekstrimitas bawah, terutama jika sebelumnya ada, harus dicatat dan dipaorkan ke dokter. Perawat mengkaji sistem vena karena trombosis vena profundan merupakan bahaya dari keterbatasan mobilisasi dengan cara, perawat melepas stoking elastis klien dan/atau sequetial compression devices (SCDs) setiap 8 jam dan mengobservasi betis terhadap kemerahan, hangat, dan kelembekan. Tanda Homan (Homan’s sign) atau nyeri betis pada kaki dorsifleksi, mengindikasikan adanya kemungkinan adanya trombus, tetapi tanda ini tidak selalu ada (Beare dan Myers, 1994).
4.      Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Etiologi. Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, penurunan stabilitas, dan gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.
·        Pengaruh otot
            Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Massa otot menurun akibat metabolisme dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan. Contohnya akan terjadi atrofi, merupakan suatu keadaan yang dipandang secara luas sebagai respon terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari, seperti paada respons imobilisasi dan tirah baring (Kasper et al, 1993).
·        Pengaruh skelet
            Imobilisasi menyababkan dua perubahan terhadap skelet; gangguan metabolisme kalsiumdan kelainan sendi. Imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1998).
            Kelainan sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot droop.

Intervensi. Kelianan muskuloskeletal utama dapat didentifikasi selama pengkajian keperawatan meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan kontraktur. Gambaran pengukuran antropometrik sebelumnya mengindikasikan kehilangan tonus dan massa otot. Pengkajian rentan gerak adalah penting sebagai data dasar, yang mana hasil pengukuran nantinya dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi. Rentang gerak diukur dengan menggunakan goniometer.
      Disuse Osteoporosis tidak teridentifikasi oleh pemeriksaan fisik. Pada wanita post menopause dan orang yang mengalami peningkatan kadar kalsium di darah dan di urine kemungkinan beresiko besar demineralisasi tulang. Resiko Desuse Osteoporosis harus dipertimbangkan ketika merencanakan tindakan keperawatan. Contohnya perkusi dan fibrasi tulang rusuk harus dilakukan hati-hati pada klien yang kemungkinan disuse osteoporosis karena resiko terjadi fraktur tulang rusuk.
5.      Perubahan Sistem Integumen
Etiologi. Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenik paling umum dalam perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khususnya—lansia dan yang imoblisasi (Alterescu dan Alterescu, 1992). Dekubitus terjaid akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan kontriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur dibawah kulit sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati (Ebersole dan Hose, 1994).
Intervensi. Perawat harus terus-menerus mengkaji kulit klien terhadap tanda-tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika klien bergerak, diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya. Pengkajian minimal harus dilakukan setiap 2 jam.

6.      Perubahan Eliminasi Urine
Etiologi. Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandug kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltikureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan resiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.
      Batu ginjal adalah batu yang kalsium yang terletak di dalam pelvis ginjal dan melewati ureter. Klien imobilisasi beresiko terjadi pembentukan batu karena gangguan metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia (Holm, 1989).
      Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang terbatas, dan penyebab lain, seperti demam, akan meningkatkan resiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau keenam. Pada umumnya yang diproduksi berkonsentrasi tinggi.
      Urine yang pekat ini meningkatkan resiko terjadi batu dan infeksi. Perawatan perienal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita, meningkatkan resiko kontaminasi saluran perkemihan oleh bakteri Escherechia coli. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.

Intervensi. Status eliminasi klien harus dievaluasi setiap shift, dan total asupan dan haluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus menentukan bahwa klien menerima jumlah dan jenis cairan melalui oral atau parenteral dengan benar.

B.     PENGARUH PSIKOSOSIAL
Etiologi. Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensoris, dan sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Bagaimana juga lansia lebih rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut, sehingga perawat harus mengobservasi lebih dini. Perubahan emosional paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus tidur bangun, dan gangguan koping.
Intervensi. Perawat harus mengkaji perubahan status emosional untuk itu, perawat harus mengobservasi selama beberapa hari sebelum menyimpulkan bahwa ia mempunyai masalah depresi. Perawat juga harus mengobservasi perubahan perilaku, perawat mencoba menentukan penyebab perubahan tersebut untuk mengidentifikasi terapi keperawatan yang spesifik. Perawat juga mengobservasi perubahan penggunaan mekanisme koping klien yang normal dalam beradaptasi terhadap imobilisasi.
BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
               Gaya berjalan digunakan untuk menggambarkan cara utama atau gaya ketika berjalan. Dengan mengkaji gaya berjalan klien memungkinkan perawat untuk membuat kesimpulan tentang keseimbangan, postur, keamanan, dan kemampuan berjalan tanpa bantuan. Masalah yang berhubungan dengan immobilisasi dapat berpengaruh terhadap sistem tubuh yang berupa pengaruh fisiologis dan psikososial.
               Perawat mengkaji klien dari bahaya imobilisasi dengan melakukan pemeriksaan fisik dari ujung kepala sampai ujung kaki. Selain itu, pengkajian keperawatan harus berfokus pada area fisiologis, sama seperti aspek psikososial dan perkembangan klien.

3.2    SARAN
               Dalam mengkaji tentang masalah yang berhubungan dengan imobilisasi seorang perawat harus hati-hati dan teliti dimaksudkan untuk menjaga supaya tidak terjadi cedera baru kepada klien. Oleh karena itu, seorang perawat harus benar-benar menguasai dan memahami tentang seluk beluk masalah-masalah yang berhubungan dengan mobilisasi.


DAFTAR PUSTAKA

Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

2 comments: